Jumat, 06 September 2013

bahasa Arab



BAB II
PEMBAHASAN

A.    MAF’UL FIH (DZARAF ZAMAN DAN ZHARAF MAKAN)
Maf’ul fih dikenal juga sebagai dharaf zaman (keadaan waktu) dan dharaf makan (keadaan tempat)[1]. Pengertian dzaraf zaman dan dzaraf makan adalah sebagai berikut:

a.       Pengertian dzaraf zaman
ظَرْفُ الزَّمَان هُوَإِسْمُ الزَّمَانِ المَنْضُوبُ بِتَقْدِيرِفِى.
Dzaraf zaman adalah kalimat isim yang menunjukkan makna zaman (waktu), yang dinashabkan dengan menyimpan makna fii (pada atau dalam)[2]. Misalnya, pada kalimat berikut ini: صُمْتُ يَومَ الخَمِيسِ  (Saya puasa di hari kamis), pada contoh tersebut terdapat kata atau lafadz yang menunjukkan dzaraf zaman yakni kata يوم (yauma). Berikut ini beberapa kata atau lafadz yang menunujukkan dzaraf zaman[3]:
1.      Pada hari ini          : اَلْيَوْمَ
2.      Pada malam ini      : اَلْلَيْلَةَ
3.      Pagi hari                : غُدْ وَةً
4.      Waktu pagi            : بُكْرَةً
5.      Besok                    : غَدًا
6.      Sore                       : مَسَاءً
7.      Selamanya             : اَبَدًا
8.      Masa                      : حِيْنًا
9.      Sebulan                 : شهرا
10.  Seminggu              : أسبوعا
11.  Ketika                   : حينا
12.  Dan lafad-lafad yang mengandung arti waktu
Dzaraf zaman (keadaan waktu) dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni sebagai berikut:
1.      Dzaraf zaman mubham
Dzaraf zaman mubham yaitu lafad yang menunjukkan zaman (waktu) yang tidak ditentukan atau waktunya yang tidak jelas atau belum spesifik. Misalnya صُمْتُ يَوْمًا (Saya telah puasa dalam (pada) suatu hari).
2.      Dzaraf zaman muhtaz
Dzaraf zaman muhtaz yaitu lafad yang menunjukkan zaman (waktu) yang ditentukan atau waktunya jelas. Misalnya, صُمْتُ يَوْمَ الْخَمِيسٍ (Saya telah puasa di hari kamis).
3.      Dzaraf zaman ma’dud
Dzaraf zaman ma’dud (bilangan) ialah lafad yang digunakan sebagai jawaban bagi lafad kam (berapa?), misalnya kata seminggu, sebulan. Contoh dalam kalimatnya sebagai berikut:اِعْتَكَفْتُ اُسْبُوْعًا (Aku telah beri’tikaf seminggu).
b.      Pengertian dzaraf makan
وَظَرْفُ المَكَانِ هُوَإِسْمُ المَكَانِ المَنْصُوْبُ بِتَقْدِ يرِفِى.
Dzaraf makan ialah kalimat isim yang menunjukkan makna tempat, yang dinashabkan dengan menyimpan makan fii (di)[4]. Contohnya sebagai berikut:  جَلَمْتُ اَمَامَ الْفَصْلِ (Saya duduk di depan kelas). Pada contoh tersebut terdapat kata lafad dzaraf makan yakni kataاَمَامَ  (amaama). Lafadz yang dapat menandakan dzaraf makan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1.      Lafadz yang mubham
Lafadz mubham yaitu lafadz yang menunjukkan arti tempat atau isim yang menunjukkan arah, seperti:
a)      Di depan               : اَمَامَ
b)      Di belakang           : خَلْفَ
c)      Di atas                   : فَوْقَ
d)     Di bawah               : تَحْتَ
e)      Di kanan                : يَمِينَ
f)       Di kiri                    : شِمَالَ
g)      Di sekitar               : حِذَاءَ
h)      Di sana              : ثَمَّ      
i)        Di sini                    : هُنَّا
2.      Asma’ul maqodir
Asma’ul maqodir yaitu isim-isim yang menunjukkan makna ukuran, seperti:
a)      Sepanjang penglihatan mata         : مَيْلًآ
b)      Empat (4) mil                                : فَرْسَخًا
c)      Empat (4) farsah                           : بَرِيْدًا
3.      Isim makan yang musytaq (berakar) dari masdar amilnya, misalnya pada kalimat berikut جَلَسْتُ مَجْلِسَ زَيْدٍ (Saya duduk di tempat duduknya Zaid).
B.     IDHAFAH
Idhafah adalah berkumpulnya kalimat satu dengan kalimat lain karena dikelompokan, lafad pertama pada kalimat idhafah dinamakan mudhaf dan lafad kedua dinamakan mudhaf ilaih, atau menggabungkan dua isim (mudhaf dan mudhaf ilaih) yang menyebabkan isim keduanya berharakat jer selamanya[5]. Contohnya, pada lafad berikut ini:
            جَاأَغُلَامُ زَيْدٍ (Budak Zaid sudah datang).
            Keterangan contoh di atas yaitu:
1.      Berkumpulnya lafadz غُلَامُ dan زَيْدٍ tidak ada faedahnya apa-apa kecuali hanya menghubungkan satu sama lain.
2.      Lafad غُلَامُ menjadi mudhaf dan lafad زَيْدٍ menjadi mudhaf ilaih.
3.      Lafad yang menjadi mudhaf ilaih wajib dijerkan
4.      Lafad yang menjadi mudhaf tidak boleh ditanwin
Idhafah terbagi menjadi tiga bagian, yakni idhafah yang menyimpan makna huruf lam,min,dan fii.
1.      Menyimpan makna min مِنْ
Ketika mudhaf merupakan bagian mudhaf ilaih. Misalnya, هَذَاثَوْبُ مِنْ حُزٍّ asalnya هَذَأَثَوْبُ حُزًّ (Ini baju sutra).
2.      Menyimpan makna fii فِيْ
Yaitu ketika mudhaf ilaih menjadi dzorofnya mudhaf. Contohnya,
فِى الَّليْلِ وَالنَّهَارِ  بَلْ مَكْرُasalnyaبَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ  
3.      Menyimpan makna lam لَمْ
هَذَاغُلاَمُ لِزَيْدٍ asalnya هَذَاغُلاَمُ زَيْدٍ (Ini budak Zaid).



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa maf’ul fih terdiri dari dzaraf zaman dan dzaraf makan. Dzaraf zaman adalah kalimat isim yang menunjukkan makna zaman (waktu), yang dinashabkan dengan menyimpan makna fii (pada atau dalam). Sedangkan dzaraf makan adalah kalimat isim yang menunjukkan makna tempat, yang dinashabkan dengan menyimpan makan fii (di). Dalam dzaraf zaman maupun dzaraf makan terdapat kata-kata yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut dzaraf zaman atau makan misalnya kata yang menunjukkan dzaraf zaman pada hari ini, hari kamis, dan lain-lain. Sedangkan kata yang menunjukkan dzaraf makan, seperti di depan, di kamar, di kiri, di bawah, dan lain-lain. Selain itu dalam bahasa Arab kalimat juga terbentuk dari idafah yaitu berkumpulnya kalimat satu dengan kalimat lain karena dikelompokan, lafad pertama pada kalimat idhafah dinamakan mudhaf dan lafad kedua dinamakan mudhaf ilaih, atau menggabungkan dua isim (mudhaf dan mudhaf ilaih) yang menyebabkan isim keduanya berharakat jer selamanya.


[1]Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), hal. 247.
[2]Sholihuddin Shofwan, Pengantar Memahami Al Jurumiyyah, (Jombang: Darul Hikmah, 1999), hal. 141.
[3] Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, hal. 247.
[4] Sholihuddin Shofwan, Pengantar Memahami......., hal. 142.
[5] Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu, hal. 306.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar