BAB II
A.
Definisi
Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik
1.
Pertumbuhan
Pertumbuhan
(growth) Sendiri sebenarnya merupakan sebuah istilah yang lazim digunakan dalam
biologi. Sehingga pengertiannya lebih bersifat biologis,. C.P. Chaplin (2002)
mengartikan pertumbuhan sebagai : satu penambahan atau kenaikan dalam ukuran
dari bagian-bagian tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan. Menurut
A. E. Sinolungan, (1997), pertumbuhan menunjuk pada perubahan kuantitatif,
yaitu yang dapat di hitung atau diukur, seperti panjang atau berat tubuh.
Sedangkan Ahmad Thonthowi (1993), mengartikan pertumbuhan sebagai perubahan
jasad yang meningkat dalam ukuran (size)
sebagai akibat dari adanya perbanyakan ( multiplication)
sel-sel.[1]
Pertumbuhan
dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif pada material sesuatu sebagai
akibat dari adanya pengaruh lingkungan. Perubahan kuantitatif ini dapat berupa
pembesaran atau penambahan dari tidak ada menjadi ada, dari kecil menjadi
besar, dari sedikit menjadi banyak, dari sempit menjadi luas, dan sebagainya.
Ini tidak berarti, bahwa pertumbuhan itu hanya berlaku pada hal-hal yang
besifat kuantitatif, karena tidak selamanya material itu kuantitatif . material
dapat terdiri dari bahan-bahan kuantitatif seperti misalnya atom, sel,
kromosom, rambut, molekul, dan lain-lain, dapat pula material terdiri dari
bahan-bahan kualitatif seperti misalnya kesan, keinginan, ide, gagasan,
pengetahuan, nilai, dan lain-lain. Jadi, material itu dapat terdiri dari
kualitas ataupun kuantitas. Kenyataan inilah yang barangkaali membuat orang
mengalami kesulitan dalam membedakan antara pertumbuhan dan perkembangan. Salah
satu kelengahan orang adalah yang menyebut pertumbuhan material kualitatif
sebagai perkembangan. [2]
Dengan demikian , istilah “pertumbuhan”
lebih cenderung menujuk pada kemajuan fisik atau pertumbuhan tubuh yang melaju
sampai pada suatu titik optimum dan kemudian menurun menuju pada keruntuhannya.
Sedangkan istilah “perkembangan” lebih menunjuk pada kemajuan mental atau
perkembangan rohani yang melaju terus sampai akhir hayat. Perkembangan rohani
tidak terhambat walaupun keadaan jasmani sudah sampai pada puncak
pertumbuhannya, definisi perkembangan akan dijelaskan pada poin berikutnya.
Meskipun terdapat perbedaan penekanan dari kedua istilah tersebut, tetapi dalam
literatur psikologi perkembangan istilah “pertumbuhan” digunakan dalam
pengertian yang sama dengan perkembangan .
2.
Perkembangan
Perkembangan adalah pola perubahan biologis, kognitif , dan
sosioemosional yang dimulai sejak lahir dan terus berlanjut di sepanjang hayat.
Kebanyakan perkembangan adalah pertumbuhan, meskipun pada akhirnya ia mengalami
penurunan (kematian).[3]
a)
Aliran
Asosiasi
Para ahli yang mengikuti aliran asosiasi berpendapat, bahwa pada
hakikatnya perkembangan itu adalah proses asosiasi. Bagi mereka yang primer
adalah bagian-bagian, bagian-bagian ada lebih dulu, sedangkan keseluruhan ada
kemudian. Bagian-bagian itu terikat satu sama lain menjadi keseluruhan oleh
asosiasi.
Jadi misalnya bagaimana
terbentuknya pengertian lonceng pada anak-anak, mungkin akan diterangkan
demikian: mungkin anak-anak itu mendengar suara lonceng lalu memperoleh kesan
pendengaran bagaimana tentang lonceng; selanjutnya mungkin anak-anak itu
melihat lonceng tersebut lalu mendapat kesan penglihatan (mengenai warna dan
bentuk); selanjutnya mungkin anak itu mempunyai kesan rabaan jika sekiranya dia
mempunyai kesempatan untuk meraba lonceng tersebut. Jadi gambaran mengenai
lonceng itu makin lama makin lengkap; kesan-kesan secara asosiatif berhubungan
satu sama lain.[4]
b)
Psikologi
Gestalt
Pengikut-pengikut aliran psikologi Gestalt mengemukakan konsepsi
yang berlawanan dengan konsepsi yang dikemukakan oleh para ahli yang mengikuti
aliran asosiasi. Bagi aliran ini perkembangan adalah proses diferensiasi. Dalam
proses diferensiasi itu yang primer adalah keseluruhan, sedangkan bagian-bagian
adalah sekunder. Keseluruhan ada terlebih dahulu baru disusul oleh bagian-bagiannya.
Seorang anak kecil, yang di rumahnya ada seekor kucing yang dinamai
“melati”, mula-mula akan menyebut semua kucing yang dijumpainya – bahkan
mungkin juga harimau di kebun binatang – dengan nama “melati”, baru kemudian
dia dapat mengetahui bahwa tidak semua kucing itu namanya “melati”. Proses ini
adalah proses diferensiasi.[5]
c)
Aliran
Sosiologis
Para ahli yang mengikuti aliran sosiologis menganggap bahwa
perkembangan adalah proses sosialisasi. Anak manusia mula-mula bersifat asosial
(barangkali untuk tepatnya dapat disebut prasosial) yang kemudian dalam
perkembangannya sedikit demi sedikit disosialisasikan.
Salah seorang ahli yang mempunyai konsepsi demikian itu yang cukup
terkenal dan besar pengaruhnya adalah James Mark Baldwin (1864-1934). Baldwin
dalam Suryabrata (2008) menerangkan perkembangan sebagai proses sosialisasi
dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi. Selanjutnya
Baldwin berpendapat bahwa setidak-tidaknya ada dua macam peniruan, yaitu: Nondeliberate
imitation misalnya terjadi kalau anak meniru gerakan-gerakan, sikap orang
dewasa. Yang kedua deliberate imitation terjadi misalnya kalau anak-anak
bermain “peranan sosial”, yaitu misalnya menjadi ibu, penjual kacang, menjadi
kondektur, menjadi penumpang kereta api, dan sebagainya.
3.
Peserta
Didik
Dalam perspektif psikologis,
peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan, baik fisik maupun psikis menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai
individu yang tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan
dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Dalam perspektif Undang-undang sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003
pasal 1 ayat 4 “Peserta didik diartikan sebagai anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan
jenis pendidikan tertentu”.[6]
Berdasarkan
beberapa definisi tentang peserta didik yang disebutkan diatas dapat
disimpulkan bahwa peserta didik merupakan individu yang memiliki potensi fisik
dan psikis yang khas sehingga ia merupakan insan yang unik, individu yang
sedang berkembang, individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan
manusiawi, dan individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri dan bertanggung
jawab.
B.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan
1.
Nativisme
Para ahli yang mengikuti aliran nativisme berpendapat, bahwa
perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa
sejak lahir. Tokoh utama aliran ini adalah Scopenhauer. Para ahli yang
mengikuti pendirian ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan
menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dan anak-anaknya.
Akan tetapi pantaslah diragukan pula, apakah kesamaan atau kemiripan yang ada
antara orang tua dengan anaknya itu benar-benar dasar yang dibawa sejak lahir.
Sebab, sekiranya anak seorang ahli musik juga menjadi ahli musik, apakah hal
itu benar-benar berakar pada keturunan atau dasar? Apakah tidak mungkin karena
adanya fasilitas-fasilitas untuk dapat maju dalam bidang seni musik maka dia
lalu menjadi seorang ahli musik (misalnya adanya alat-alat musik, buku-buku
musik, dan sebagainya).
Dari segi ilmu pendidikan pun teori ini tak dapat dibenarkan, sebab
jika benar segala sesuatu itu tergantung pada dasar, jadi pengaruh lingkungan
dan pendidikan dianggap tidak ada, maka konsekuensinya harus kita tutup saja
semua sekolah, sebab sekolah toh tidak mampu mengubah anak yang membutuhkan
pertolongan. Namun hal tersebut bertentangan dengan kenyataan yang kita hadapi.
Jadi konsepsi nativisme itu tidak dapat dipertahankan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.[7]
2.
Empirisme
John Lock (1631-1704) adalah tokoh utama aliran empirisme
(kebalikannya aliran nativisme). Nama asli aliran ini adalah The School Of
British Empiricism (aliran empirisme Inggris). Doktrin aliran empirisme
yang sangat masyhur adalah tabula rasa, sebuah istilah bahasa latin yang
berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet).
Doktrin menekankan arti penting pada pengalaman, lingkungan, dan pendidikan.
Dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan
pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap
tidak ada pengaruhnya.[8]
Dalam hal ini, para penganut empirisme
menganggap setiap anak lahir seperti tabula rasa, dalam keadaaan kosong, tak
punya kemampuan dan bakat apa-apa. Hendak menjadi apa seorang anak kelak
bergantung pada pengalaman atau lingkungan yang mendidiknya. Jadi jika seorang
siswa memperoleh kesempatan yang memadai untuk mempelajari ilmu politik, tentu
kelak ia akan menjadi seorang politisi. Karena ia memiliki pengalaman belajar
di bidang politik, ia tidak akan pernah menjadi pemusik, walaupun orang tuanya
pemusik sejati.
Memang sukar dipungkiri bahwa lingkungan
memiliki pengaruh besar terhadap proses perkembangan dan masa depan siswa.
Dalam hal ini lingkungan keluarga (bukan bakat pembawaan dari keluarga) dan
lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya mutu,
perilaku, dan masa depan siswa.
Kondisi sebuah kelompok yang berdomisili
di kawasan kumuh dengan kemampuan ekonomi di bawah garis rata-rata dan tanpa
fasilitas umum seperti masjid, sekolah, serta lapangan olahraga telah terbukti
menjadi lahan subur bagi pertumbuhan anak-anak nakal. Terlebih lagi apabila kedua
orangtuanya kurang atau tidak berpendidikan.Faktor orang tua atau
keluargateerutama sifat dan keadaan mereka juga sangat menentukan perkembangan
siswa. Sifat orang tua (parental trait) yang dimaksudkan ialah gaya khas
dalam bersikap, memandang, memikirkan, dan memperlakukan anak.[9]
Contoh: kelahiran bayi yang tidak
dikehendaki akan menimbulkan sikap dan perlakuan orang tua yang bersikap
menolak. Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu melindungi anak juga dapat
mengganggu perkembangan anak. Perilaku memanjakan anak secara berlebihan ini
menurut penelitian Charer dalam Fauzi (1999) ternyata berhubungan erat dengan
penyimpangan perilaku dan ketidakmampuan sosial anak di kemudian hari.
Namun demikian, ada bahkan banyak fakta
yang ironis, yakni di antara siswa yang dijuluki nakal dan brutal khususnya di
kota-kota ternyata cukup banyak berasal dari kalangan keluarga berada,
terpelajar, dan bahkan taat beragama. Sebaliknya, tidak sedikit anak pintar dan
berakhlak baik yang lahir dari keluarga bodoh dan miskin bahkan keluarga yang
tidak harmonis. Jadi sejauh manakah validitas doktrin empirisme yang telah
memunculkan optimisme pedagogis itu dapat bertahan?.
3.
Konvergensi
Aliran yang dipelopori oleh William Stern ini berpendapat, bahwa di
dalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan
memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada
masing-masing individu, akan tetapi bakat yang tersedia itu perlu menemukan
lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Bahkan bakat yang sudah ada
sebagai kemungkinan walaupun sudah mendapat pengaruh lingkungan yang serasi,
belum tentu kalau dapat berkembang, kecuali kalau bakat itu memang sudah matang.[10]
Namun aliran konvergensi yang menggabungkan bakat dan lingkungan
sebagai acuan tingkat keberhasilan perkembangan siswa, ternyata tidak dapat
diterima secara mutlak. Sebab masih ada satu hal lagi yang perlu kita ingat
yakni potensi psikologis tertentu yang tersimpan rapi dalam diri siswa dan
sulit diidentifikasikan. Jadi siswa itu dikembangkan juga oleh dirinya sendiri.
Setiap orang termasuk siswa memiliki self direction dan self
discipline yang memungkinkan dirinya bebas memilih antara mengikuti atau
menolak sesuatu (aturan atau stimulus) lingkungan tertentu yang hendak
mengembangkan dirinya. Alhasil, siswa itu sendiri memiliki potensi psikologis
tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam konteks lingkungan
tertentu.[11]
C.
Periode
dan Proses Perkembangan
Pola perkembangan anak adalah pola
yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses yaitu: biologis,
kognitif, dan sosioemosional. Kesalingterkaitan dari proses-proses ini
menghasilkan periode-periode perkembangan manusia. Berikut periode dan proses
menurut Santrock (2011):
1.
Periode
perkembangan.
Infancy
adalah periode dari kelahiran sampai usia 24 bulan. Masa ini adalah
masa ketika anak sangat tergantung kepada orang tuanya. Banyak aktivitas,
seperti perkembangan bahasa, pemikiran simbolis, koordinasi sensorimotor, dan
pembelajaran sosial, baru dimulai.
Early
childhood (kadang dinamakan usia pra sekolah)
adalah periode dari akhir masa bayi sampai umur lima atau enam tahun. Selama
periode ini, anak menjadi makin mandiri, siap untuk bersekolah (seperti mulai
belajar untuk mengikuti perintah dan mengidentifikasi huruf), dan banyak
menghabiskan waktu bersama teman. Selepas taman kanak-kanak biasanya dianggap
sebagai batas berakhirnya periode ini.
Midle
dan lite childhood (terkadang disebut masa sekolah dasar)
dimulai dari usia enam sampai sebelas tahun. anak mulai menguasai keahlian
membaca, menulis, dan menghitung. Prestasi menjadi tema utama dari kehidupan
anak dan mereka semakin mampu mengendalikan diri. Dalam periode ini mereka
berinteraksi dengan dunia sosial yang lebih luas di luar keluarganya.
Adolescence
(remaja) adalah transisi dari masa anak-anak ke usia dewasa.
Periode ini dimulai sekitar usia sepuluh atau dua belas tahun sampai ke usia
delapan belas atau dua puluh tahun. remaja mulai mengalami perubahan fisik yang
cepat, termasuk bertambahnya tinggi dan berat badan, dan perkembangan fungsi
seksual. Di masa ini, individu semakin ingin bebas dan mencari jati diri
(identitas diri). Pemikiran mereka menjadi semakin abstrak, logis, dan
idealistis.
Early
adulthood dimulai di akhir usia remaja atau
awal usia 20-an sampai ke usia 30-an. Ini adalah masa ketika kerja dan cinta
menjadi tema utama dalam kehidupan mereka. Individu mulai menetukan karirdan
biasanya mencari pasangan intim untuk pacaran atau bahkan berumah tangga.
Periode perkembangan lainnya adalah masa dewasa (adult) tetapi kita
membatasi pembahasan kita pada periode yang paling relevan bagi pendidikan
anak.
2.
Proses
perkembangan.
Proses
biologis adalah perubahan dalam tubuh anak .
warisan genetik memainkan peran penting. Proses biologis melandasi perkembangan
otak, berat dan tinggi badan, perubahan dalam kemampuan bergerak, dan perubahan
hormonal di masa puber.
Proses
kognitif adalah perubahan dalam pemikiran,
kecerdasan, dan bahasa anak. Proses perkembangan kognitif memampukan anak untuk
mengingat puisi, membayangkan bagaimana cara memecahkan soal matematika,
menyusun strategi kreatif, atau menghubungkan kalimat menjadi pembicaraan yang
bermakna.
Proses
sosioemosional adalah perubahan
dalam hubungan anak dengan orang lain, perubahan dalam emosi, dan perubahan
dalam kepribadian. Pengasuhan anak, perkelahian anak, perkembangan ketegasan
anak perempuan, dan perasaan gembira remaja saat mendapatkan nilai yang baik
semuanya itu mencerminkan proses perkembangan sosioemosional.
[1]
http://tarman-revolusimahasiswa.blogspot.com/2013/05/09/konsep-dasar-perkembangan.html
[2]
Ibid.
[3]
(Santrock,
2011)Hlm.
40.
[4]
(Suryabrata,
2008)Hlm.
171.
[5]
Ibid. Hlm. 172.
[6]
http://tarman-revolusimahasiswa.blogspot.com/2013/05/09/konsep-dasar-perkembangan.html
[7]
(Suryabrata,
2008)Hlm.
178.
[8]
(Fauzi,
1999)
Hlm. 108.
[9]
Ibid.Hlm. 108.
[10]
(Suryabrata,
2008)Hlm.180.
[11]
(Fauzi,
1999)
Hlm. 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar