PEMBAHASAN
A. UJUB
Ujub
menurut bahasa ialah membanggakan diri dalam batin adapun menurut istilah
ialah mewajibkan keselamatan badan dari siksa akhirat. Sufyan Ats-Tsauri ra mendefenisikan ujub
sebagai "suatu perasaan takjub terhadap diri sendiri, hingga
seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi
ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya
itu lebih wara' dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang
dirinya!". Orang yang demikian itu, beranggapan bahwa segala kesuksesan
yang diraihnya, seperti harta yang melimpah, jabatan yang tinggi, kepandangan
yang tak tertandingi semata-mata karena hasil usaha serta kehebatan dirinya.
Semua itu ia pikir, ia raih tanpa bantuan dari siapapun, termasuk Allah SWT.
orang yang bersikap/berperilaku ‘ujub’
biasanya selalu merasa dirinya benar, tidak pernah salah atau keliru,
karenanya tidak bisa menerima kritik orang lain.
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang ujub antar lain Surat At-Taubah:55 yang artinya: “Dan janganlah harta benda dan anak-anak
mereka menarik hatimu (menjadikan kamu bersikap ujub). Sesungguhnya Allah
menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan
agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir”. (QS. Taubah: 55).
Abu Wahb al-Marwazi berkata, Aku
bertanya kepada Ibnul Mubarak, Apakah kibr
(sombong) itu?،¨ Dia
menjawab, Jika engkau merendahkan orang lain.،¨ Lalu aku bertanya tentang ujub, maka dia menjawab jika engkau
memandang bahwa dirimu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain,
aku tidak tahu sesuatu yang lebih buruk bagi orang yang shalat daripada ujub.
1. Sebab-Sebab Ujub
a.
Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat
seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan
tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau
salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu
menganggap diri suci dll.
b.
Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sanjungan berlebihan tanpa
memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, seba-gaimana
yang disebutkan dalam sebuah hadits. Sering kita temui sebagian orang yang
terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa
diri. Masalah ini akan kami bahas lebih lanjut pada bab berikut.
c.
Bergaul Dengan Orang yang Terkena
Penyakit Ujub.
Tidak syak lagi bahwa setiap orang
akan melatahi tingkah laku temannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri bersabda: “Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang
jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai
besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
d.
Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala
Begitu banyak nikmat yang diterima
seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia
membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun; “Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
e.
Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum
Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Demi Allah, pada hari ini kita banyak
mengeluhkan problematika ini, yang telah banyak menimbulkan berbagai
pelanggaran. Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar
persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang
yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang
lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia
tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak
permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun ironinya
terkadang kita turut menyokong hal seperti ini. Yaitu dengan memperkenalkannya
kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat umum itu ibaratnya
seperti orang yang menganggap emas seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala
mereka melihat seorang qari yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang
lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil
segala sesuatu dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak
seraya berkata: “Aku tidak tahu!”
Perlu diketahui bahwa bermain-main
dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api.
Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara
mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian
mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh
siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa!?
Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas
lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan
tahu bahwa mereka telah tertipu!
f.
Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri
(Lupa Daratan)
Sekiranya seorang insan benar-benar
merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia
sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub. Ia pasti meminta kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya.
Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada
orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:
“Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.Lihatlah tempat buang airmu,
sebab kotoran itu selalu hina. Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam
perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya,
baik pemuda maupun orang tua. Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan
selain kepala?Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!Hidung
beringus sementara telinga baunya tengik.Tahi mata berselemak sementara dari
mulut mengalir air liur. Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal
dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi
santapan kelak.
Penyair ini mengingatkan kita pada
asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesu-dahan hidup
mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia
berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor
sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.
g.
Berbangga-bangga Dengan Nasab dan
Keturunan
Seorang insan terkadang memandang
mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap
dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan
sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak
syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.
Dalam sebuah kisah pada zaman
kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin
Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Baitullah Al-Haram. Sewaktu tengah
melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala
mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung
melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si
Arab badui itu pun melapor kepada Umar radhiyallahu ‘anhu mengadukan tindakan
Jabalah tadi. Umar radhiyallahu ‘anhu pun memanggil Jabalah lalu berkata
kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah
engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia
(Arab badui) orang pasaran!” Umar ra menjawab: “Islam telah menyamaratakan
antara kalian berdua di hadapan hukum!”
Tidakkah engkau ketahui bahwa: Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi. Dan
menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya. Ketika
Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun
berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri
pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama
Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu. Wal ‘iyadzubillah
h.
Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan
dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sahabat-sahabat beliau untuk
berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa
yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk
menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits
ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang
seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
i.
Lengah Terhadap Akibat yang Timbul
dari Penyakit Ujub
Sekiranya seorang insan menyadari
bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan
menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan
kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam: ”Sesungguhnya
seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut
yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai
Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus,
sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan
menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan
orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
awal hadits berbunyi: “Tidak akan
masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
2. Dampak Ujub
a.
Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan,
sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
b.
Dijauhkan dari pertolongan Allah.
Allah Subahanahu Wata’ala berfirman: “Orang-orang
yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)
c.
Terpuruk dalam menghadapi berbagai
krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan dan musibah datang
menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ujub akan berteriak: ‘hai
teman-teman, carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan
orang-orang yang teguh di atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka
tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi
Thalib ra. Siapakah yang mampu lari
dari hari kematian? Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan? Bila
sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya. Namun siapakah
yang dapat menghindar dari takdir?
d.
Dibenci dan dijauhi orang-orang.
Seseorang
akan diperlakukan sebagaimana ia memperla-kukan orang lain. Jika ia
memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih
baik kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).”
(An-Nisa’: 86)
Namun seseorang kerap kali
meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya
dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya.
Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang
lain juga akan menyepelekanmu’
e.
Azab dan pembalasan cepat ataupun
lambat.
Seorang yang
terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam
sebuah hadits disebutkan: “Ketika
seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir
rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya
hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.” (HR.
Al-Bukhari).
Hukuman ini dirasakannya di dunia
akibat sifat ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di du-nia, yang
jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang
seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni,
ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya
sendiri.
Dengan begitu kita harus
berhati-hati dari sifat ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada
orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap
hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.
B.
Riya
Riya berasal dari bahasa arab yang
artinya memperlihatkan atau terkenal dengan istilah memamerkan. Dari segi syra,
imam alhafidz ibnu hajar dalam kitabnya fathul bari mengatakan bahwa ria adalah
ibadah yang dilakukan dengan tujuan atau maksud agar dapat dilihat orang lain
sehingga memuja pelakunya.Riya adalah memperlihatkan suatu ibadah dan amalan
shaleh kepada orang lain bukan karna allah, tetapi karna suatu yang lain selain
allah. Misalnya karena ingin memperoleh kemasyuran dan keuntungan
dunia.sedangkan memperdengarkan ucapan ibadah dan amal saleh kepada orang lain.
Ria merupakan sifat tecela karena melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari
ridho allah melainkan untuk mengharap pujian dari orang lain, ria merupakan
kemunafikan dan syirik,Rasulullah bersabda: ”Sesuatu yang sangat aku takutkan
yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi SAW ditanya tentang apa yang
dimaksud dengan syirik kecil maka beliau menjawab yaitu riya”.
Jadi hakikat riya adalah seorang
hamba yang taat pada allah swt dengan tujuan ingin mendapatkan kedudukan atau
pujian manusia.Tanda tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh ali bin abi
thalib. Kata Rasulullah :’’Orang yang riya itu memliki tiga ciri, yaitu malas
beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada ditengah tengah orang
ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya
ketika dirinya dicela.’’
Dilihat dari bentuknya riya ada dua macam yaitu:
a.
Riya dalam niat
Riya dalam niat yaitu ketika
mengawali pekerjaan, dia mempunyai keinginan untuk mendapat pujian,
sanjungan, penghargaan dari orang lain, bukan karna Allah SWT. Padahal niat itu
sangat menentukan nilai dari suatu pekerjaan. Jika pekerjaan yang baik
dilakukan dengan niat kaerna Allah SWT maka perbuatan itu mempunyai nilai
disisi Allah SWT. Jika dilakukan karena ingin mendapat sanjungan dan
penghargaan dari orang lain maka perbuatan itu tidak akan memperoleh pahala
dari Allah SWT, hanya sanjungan itulah yang akan dia peroleh. Nabi muhammad SAW
bersabda: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya”.(HR Muslim). Riya
yang berkaitan dengan hati paling sulit untuk diketahui karena yang
mengetahuinya hanya allah swt semata.
b.
Riya dalam perbuatan
Riya dalam perbuatan ini, misalnya
ketika megerjakan shalat dan bersedekah. Orang riya ini dalam mengarjakan
shalat biasanya dia memperlihatkan kesungguhan, kerajinan dan kekhusuannya jika
dia berada di tengah tengah orang atau jamaah. Sehingga orang lain melihat dia
berdiri, rukuk, sujud dan sebagainya. Dia shalat dengan tekun tiu mengharapkan
perhatian, sanjungan, pujian orang lain agar dia dianggap sebagai orang yag
taat dan tekun beribadah. Orang yang riya dalam shalat akan celaka. Allah
berfirman yang artinya : “ maka
celakalah orang yang shalat yaitu orang-orang yang lalai
terhadap shalatnya yang berbuat riya dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS
Al-Maun/107:4-7).
Riya yang berhubungan dengan
perbuatan ini masih dapat dilihat sekalipun agak samar-samar. Beberapa ciri
orang yang mempunyai sifat riya dalam perbuatan yaitu sebagai berikut:
1.
Tidak aka melakukan perbuatan baik
seperti bersedekah bila tidak dilihat orang,
2.
Beribadah hanya sekedar ikut-ikutan,
3.
Terlihat tekun dan bertambah
motivasinya dalam beribadah jika mendapat pujian saja, sebaliknya mudah
menyerah jika dicela orang,
4.
Senantiasa berupaya menampakan
segala perbuatan baiknya agar diketahui orang banyak.
Riya bisa terdapat dalam urusan
keagamaan dan bisa pula dalam urusan keduniaan.
a.
Riya dalam urusan keagamaan,
Misalnya: Seseorang
melakukan shalat berjamaah dengan maksud bukan ingin memperoleh keridaan Allah
SWT, tetapi agar mendapat penilaian dari masyarakat sebagai muslim yang taat.
b.
Riya dalam urusan keduniaan,
Misalnya: Seseorang
memperlihatkan kesungguhan dan kedisiplinannya dalam bekerja kepada atasannya,
dengan tidak dilandasi nilai ikhlas karena Allah SWT, karena ia ingin dinilai
baik oleh atasannya, lalu pangkatnya atau gajinya dinaikkan.
Sifat riya yang membahayakan terhadap diri sendiri
diantaranya adalah:
1.
Selalu muncul ketidak puasan
terhadap apa yang telah dilakukan.
2.
Muncul rasa hampa dan senantiasa
gelisa ketika berbuat sesuatu
3.
Menyesal melakukan sesuatu ketika
orang lain tidak memerhatikannya
4.
Jiwa akan terganggu karena keluh
kesah yang tiada hentinya
5.
Merugikan diri sendiri karena
termasuk perbuatan tercela
Cara menghindari sifat riya:
1.
Banyak mendatangi dan mendengarkan
pengajian atau nasihat yang disampaikan oleh para ulama yang membahas berbagai
masalah dalam islam (QS. Al Anfal:2)
2.
Bergaul dengan teman yang baik dan
saleh , disiplin beribadah dan beramal saleh , serta membiasakan diri berakhlak
terpuji.
3.
Memelihara diri dengan beramal saleh
secara ikhlas dan secara sembunyi-sembunyi karena untuk mencari rida Allah swt.
Begitulah bahaya dari sifat riya
bahkan riya itu dapat dikatakan sebagai syirik khafi yang artinya syirik ringan
karena mengaitkan niat untuk melakukan sesuatu perbuatan pada sesuatu selain
Allah.
C.
Takabur
Takabbur menurut bahasa berarti
sombong karena merasa luhur, adapun menurut istilah adalah menetapkan kebijakan
pada diri sendiri ada sifat baik dan luhur sebab banyak harta atau
kepandaiannya. Lawan dari Tawadhu adalah takabur atau sombong, yaitu sikap
menganggap diri lebih dan meremehkan orang lain. Karena sikapnya itu orang
sombong akan menolak kebenaran, kalau kebenaran itu datang dari pihak yang
statusnya dia anggap lebih rendah dari dirinya. Rasulullah saw bersabda: ” yang
artinya Takabur adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang lain”(HR. Muslim).
Karena orang yang sombong selalu menganggap dirinya benar, maka dia tidak
mau menerima kritikan dan nasehat dari orang lain. Dia akan menutup mata
terhadap kelemahan dirinya. Dia akan menutup telinganya kecuali untuk
mendengarkan pujian- pujian terhadap dirinya. Oleh sebab itu sudah merupakan
Sunnatullah kalau kemudian Allah memalingkan orang yang sombong dari tanda-tanda
kekuasaan Allah.
Karena dia jauh dari kebenaran , maka di Akhirat nanti orang- orang yang
sombong tidak akan masuk surga. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk
surga orang yang didalam hatinya ada sebiji zarah sifat sombong.”(HR. Muslim)
Bentuk- Bentuk Takabur
1.
Kalau mendatangi suatu
majlis, dia ingin dan senang kalau para hadirin berdiri menyambutnya, padahal
Rasulullah saw menyatakan: “Barang siapa menyenangi orang- orang berdiri
menghormaatinya, maka bersiap- siaplah dia menempati tempat duduknya di
neraka”. (HR. Bukhari)
2.
Kalau berjalan, dia
ingin ada orang yang berjalan dibelakangnya, untuk menunjukkan bahwa dia lebih
hebat dan lebih mulia dari yang lainnya.
3.
Tidak mau mengunjungi
orang yang statusnya dianggap lebih rendah dirinya.
4.
Merasa malu dan hina mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, dan kalau berbelanja tidak mau membawa sendiri barang
belanjaannya karena akan merendahkan derajatnya.
Sebab-sebab Takabur
1.
Ilmu Pengetahuan
Mungkin kita akan bertanya, mengapa jika orang bertambah ilmu
pengetahuannya, maka yang justru yang terjadi adalah munculnya kesombongan.
Sebagai jawabannya, minimal ada dua hal yang mempengaruhianya.
Pertama,
Ia menekuni apa yang disebut dengan ilmu. Namun, bukan ilmu
hakiki, yaitu ilmu yang mengenalkannya kepada Tuhan dan dirinya. Allah
swt berfirman mengenai hal ini.
“…Sesungguhnya
yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah Ulama….” (Faathir
(35) : 28)
Kedua,
Ia menggeluti ilmu dengan batin yang kotor, jiwa yang buruk, dan akhlak yang
tidak baik.
2.
Amal dan Ibadah
Orang-orang yang zuhud dan para ahli ibadah juga tidak
terlepas dari nistanya kesombongan, kepongahan, dan tindakan lain yang memikat
hati manusia. Kesombongan itu menyelinap ke dalam hati mereka, baik
menyangkut urusan dunia atau pun agama. Rasullullah saw. bersabda “Cukuplah
orang dinilai melakukan kejahatan, bila ia merendahkan saudaranya sesama
muslim” (HR. Abu Daud)
3.
Nasab Keturunan
Rasullullah saw bersabda, “Hendaklah orang-orang
meninggalkan kebanggaan terhadap nenek moyang mereka yang telah menjadi batu
bara di neraka jahannam. Jika tidak, maka mereka akan menjadi lebih hina di
sisi Allah daripada kambing yang hidungnya mengeluarkan kotoran.” (HR.
Abu Dawud dan Tirmudzi)
4.
Kecantikan dan Ketampanan.
5.
Harta Kekayaan.
Dalam Al-Qur’an kita temukan betapa harta telah menghantarkan
Qorun menjadi seseorang yang sombong. “Maka, keluarlah Qorun kepada kaumnya
dengan kemegahan. Maka berkatalah orang-orang yang menghendaki kemegahan dunia,
”Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada
Qorun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (al-Qashshas
(28) : 79)
6.
Kekuatan dan Keperkasaan.
Hal ini biasanya dimanfaatkan untuk menindas orang yang
lemah.
7.
Pengikut, Pendukung, Murid,
pembantu, keluarga, Kerabat,dan Anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar