Jumat, 06 September 2013

tasawuff



PEMBAHASAN

A.     UJUB
Ujub menurut bahasa ialah membanggakan diri dalam batin adapun menurut istilah ialah mewajibkan keselamatan badan dari siksa akhirat. Sufyan Ats-Tsauri ra mendefenisikan ujub sebagai "suatu perasaan takjub terhadap diri sendiri, hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara' dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!". Orang yang demikian itu, beranggapan bahwa segala kesuksesan yang diraihnya, seperti harta yang melimpah, jabatan yang tinggi, kepandangan yang tak tertandingi semata-mata karena hasil usaha serta kehebatan dirinya. Semua itu ia pikir, ia raih tanpa bantuan dari siapapun, termasuk Allah SWT. orang yang bersikap/berperilaku ‘ujub’ biasanya selalu merasa dirinya benar, tidak pernah salah atau keliru, karenanya tidak bisa menerima kritik orang lain.

Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang ujub antar lain Surat At-Taubah:55 yang artinya: “Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu (menjadikan kamu bersikap ujub). Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir”. (QS. Taubah: 55).
Abu Wahb al-Marwazi berkata, Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak, Apakah kibr (sombong) itu?،¨ Dia menjawab, Jika engkau merendahkan orang lain.،¨ Lalu aku bertanya tentang ujub, maka dia menjawab jika engkau memandang bahwa dirimu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, aku tidak tahu sesuatu yang lebih buruk bagi orang yang shalat daripada ujub.

1.       Sebab-Sebab Ujub
a.         Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dll.
b.        Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, seba-gaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits. Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Masalah ini akan kami bahas lebih lanjut pada bab berikut.
c.         Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.
Tidak syak lagi bahwa setiap orang akan melatahi tingkah laku temannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda: Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
d.        Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun; “Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
e.         Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Demi Allah, pada hari ini kita banyak mengeluhkan problematika ini, yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal seperti ini. Yaitu dengan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”
Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa!? Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
f.         Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub. Ia pasti meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:
Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina. Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua. Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur. Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.
Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesu-dahan hidup mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.
g.        Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.
Dalam sebuah kisah pada zaman kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Baitullah Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada Umar radhiyallahu ‘anhu mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar radhiyallahu ‘anhu pun memanggil Jabalah lalu berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!” Umar ra menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara kalian berdua di hadapan hukum!”
Tidakkah engkau ketahui bahwa: Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi. Dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya. Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu. Wal ‘iyadzubillah
h.        Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
i.          Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).

2.       Dampak Ujub
a.         Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
b.        Dijauhkan dari pertolongan Allah.
Allah Subahanahu Wata’ala berfirman:  Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)
c.         Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ujub akan berteriak: ‘hai teman-teman, carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib ra. Siapakah yang mampu lari dari hari kematian? Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan? Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya. Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?
d.        Dibenci dan dijauhi orang-orang.
Seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperla-kukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’
e.         Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat.
Seorang yang terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Ketika seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
Hukuman ini dirasakannya di dunia akibat sifat ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di du-nia, yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.
Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.

B.     Riya
Riya berasal dari bahasa arab yang artinya memperlihatkan atau terkenal dengan istilah memamerkan. Dari segi syra, imam alhafidz ibnu hajar dalam kitabnya fathul bari mengatakan bahwa ria adalah ibadah yang dilakukan dengan tujuan atau maksud agar dapat dilihat orang lain sehingga memuja pelakunya.Riya adalah memperlihatkan suatu ibadah dan amalan shaleh kepada orang lain bukan karna allah, tetapi karna suatu yang lain selain allah. Misalnya karena ingin memperoleh kemasyuran dan keuntungan dunia.sedangkan memperdengarkan ucapan ibadah dan amal saleh kepada orang lain. Ria merupakan sifat tecela karena melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridho allah melainkan untuk mengharap pujian dari orang lain, ria merupakan kemunafikan dan syirik,Rasulullah bersabda: ”Sesuatu yang sangat aku takutkan yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi SAW ditanya tentang apa yang dimaksud dengan syirik kecil maka beliau menjawab yaitu riya”.
Jadi hakikat riya adalah seorang hamba yang taat pada allah swt dengan tujuan ingin mendapatkan kedudukan atau pujian manusia.Tanda tanda penyakit hati ini pernah dinyatakan oleh ali bin abi thalib. Kata Rasulullah :’’Orang yang riya itu memliki tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada ditengah tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan mengurangi amaliyahnya ketika dirinya dicela.’’
Dilihat dari bentuknya riya ada dua macam yaitu:
a.         Riya dalam niat
Riya dalam niat yaitu ketika mengawali pekerjaan, dia mempunyai keinginan untuk  mendapat pujian, sanjungan, penghargaan dari orang lain, bukan karna Allah SWT. Padahal niat itu sangat menentukan nilai dari suatu pekerjaan. Jika pekerjaan yang baik dilakukan dengan niat kaerna Allah SWT maka perbuatan itu mempunyai nilai disisi Allah SWT. Jika dilakukan karena ingin mendapat sanjungan dan penghargaan dari orang lain maka perbuatan itu tidak akan memperoleh pahala dari Allah SWT, hanya sanjungan itulah yang akan dia peroleh. Nabi muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya”.(HR Muslim). Riya yang berkaitan dengan hati paling sulit untuk diketahui karena yang mengetahuinya hanya allah swt semata.
b.        Riya dalam perbuatan
Riya dalam perbuatan ini, misalnya ketika megerjakan shalat dan bersedekah. Orang riya ini dalam mengarjakan shalat biasanya dia memperlihatkan kesungguhan, kerajinan dan kekhusuannya jika dia berada di tengah tengah orang atau jamaah. Sehingga orang lain melihat dia berdiri, rukuk, sujud dan sebagainya. Dia shalat dengan tekun tiu mengharapkan perhatian, sanjungan, pujian orang lain agar dia dianggap sebagai orang yag taat dan tekun beribadah. Orang yang riya dalam shalat akan celaka. Allah berfirman yang artinya : maka celakalah orang yang shalat yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya yang berbuat riya dan enggan (memberikan) bantuan.(QS Al-Maun/107:4-7).
Riya yang berhubungan dengan perbuatan ini masih dapat dilihat sekalipun agak samar-samar. Beberapa ciri orang yang mempunyai sifat riya dalam perbuatan yaitu sebagai berikut:
1.        Tidak aka melakukan perbuatan baik seperti bersedekah bila tidak dilihat orang,
2.        Beribadah hanya sekedar ikut-ikutan,
3.        Terlihat tekun dan bertambah motivasinya dalam beribadah jika mendapat pujian saja, sebaliknya mudah menyerah jika dicela orang,
4.        Senantiasa berupaya menampakan segala perbuatan baiknya agar diketahui orang banyak.
Riya bisa terdapat dalam urusan keagamaan dan bisa pula dalam urusan keduniaan.
a.         Riya dalam urusan keagamaan,
Misalnya: Seseorang melakukan shalat berjamaah dengan maksud bukan ingin memperoleh keridaan Allah SWT, tetapi agar mendapat penilaian dari masyarakat sebagai muslim yang taat.
b.        Riya dalam urusan keduniaan,
Misalnya: Seseorang memperlihatkan kesungguhan dan kedisiplinannya dalam bekerja kepada atasannya, dengan tidak dilandasi nilai ikhlas karena Allah SWT, karena ia ingin dinilai baik oleh atasannya, lalu pangkatnya atau gajinya dinaikkan.
Sifat riya yang membahayakan terhadap diri sendiri diantaranya adalah:
1.        Selalu muncul ketidak puasan terhadap apa yang telah dilakukan.
2.        Muncul rasa hampa dan senantiasa gelisa ketika berbuat sesuatu
3.        Menyesal melakukan sesuatu ketika orang lain tidak memerhatikannya
4.        Jiwa akan terganggu karena keluh kesah yang tiada hentinya
5.        Merugikan diri sendiri karena termasuk perbuatan tercela

Cara menghindari sifat riya:
1.        Banyak mendatangi dan mendengarkan pengajian atau nasihat yang disampaikan oleh para ulama yang membahas berbagai masalah dalam islam (QS. Al Anfal:2)
2.        Bergaul dengan teman yang baik dan saleh , disiplin beribadah dan beramal saleh , serta membiasakan diri berakhlak terpuji.
3.        Memelihara diri dengan beramal saleh secara ikhlas dan secara sembunyi-sembunyi karena untuk mencari rida Allah swt.
Begitulah bahaya dari sifat riya bahkan riya itu dapat dikatakan sebagai syirik khafi yang artinya syirik ringan karena mengaitkan niat untuk melakukan sesuatu perbuatan pada sesuatu selain Allah.

C.     Takabur
Takabbur menurut bahasa berarti sombong karena merasa luhur, adapun menurut istilah adalah menetapkan kebijakan pada diri sendiri ada sifat baik dan luhur sebab banyak harta atau kepandaiannya. Lawan dari Tawadhu adalah takabur atau sombong, yaitu sikap menganggap diri lebih dan meremehkan orang lain. Karena sikapnya itu orang sombong akan menolak kebenaran, kalau kebenaran itu datang dari pihak yang statusnya dia anggap lebih rendah dari dirinya. Rasulullah saw bersabda: ” yang artinya Takabur adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang lain”(HR. Muslim).
Karena orang yang sombong selalu menganggap dirinya benar, maka dia tidak mau menerima kritikan dan nasehat dari orang lain. Dia akan menutup mata terhadap kelemahan dirinya. Dia akan menutup telinganya kecuali untuk mendengarkan pujian- pujian terhadap dirinya. Oleh sebab itu sudah merupakan Sunnatullah kalau kemudian Allah memalingkan orang yang sombong dari tanda-tanda kekuasaan Allah.
Karena dia jauh dari kebenaran , maka di Akhirat nanti orang- orang yang sombong tidak akan masuk surga. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang didalam hatinya ada sebiji zarah sifat sombong.”(HR. Muslim)

Bentuk- Bentuk Takabur
1.        Kalau mendatangi suatu majlis, dia ingin dan senang kalau para hadirin berdiri menyambutnya, padahal Rasulullah saw menyatakan: “Barang siapa menyenangi orang- orang berdiri menghormaatinya, maka bersiap- siaplah dia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhari)
2.        Kalau berjalan, dia ingin ada orang yang berjalan dibelakangnya, untuk menunjukkan bahwa dia lebih hebat dan lebih mulia dari yang lainnya.
3.        Tidak mau mengunjungi orang yang statusnya dianggap lebih rendah dirinya.
4.        Merasa malu dan hina mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan kalau berbelanja tidak mau membawa sendiri barang belanjaannya karena akan merendahkan derajatnya.

Sebab-sebab Takabur
1.        Ilmu Pengetahuan
Mungkin kita akan bertanya, mengapa jika orang bertambah ilmu pengetahuannya, maka yang justru yang terjadi adalah munculnya kesombongan. Sebagai jawabannya, minimal ada dua hal yang mempengaruhianya.
Pertama, Ia menekuni apa yang disebut dengan ilmu. Namun, bukan ilmu hakiki,  yaitu ilmu yang mengenalkannya kepada Tuhan dan dirinya. Allah swt berfirman mengenai hal ini.
“…Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah Ulama….” (Faathir (35) : 28)
Kedua, Ia menggeluti ilmu dengan batin yang kotor, jiwa yang buruk, dan akhlak yang tidak baik.
2.        Amal dan Ibadah
Orang-orang yang zuhud dan para ahli ibadah juga tidak terlepas dari nistanya kesombongan, kepongahan, dan tindakan lain yang memikat hati manusia. Kesombongan itu menyelinap ke dalam  hati mereka, baik menyangkut urusan dunia atau pun agama. Rasullullah saw. bersabda “Cukuplah orang dinilai melakukan kejahatan, bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim” (HR. Abu Daud)
3.        Nasab Keturunan
Rasullullah saw bersabda, “Hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan terhadap nenek moyang mereka yang telah menjadi batu bara di neraka jahannam. Jika tidak, maka mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah daripada kambing yang hidungnya mengeluarkan kotoran.” (HR. Abu Dawud dan Tirmudzi)
4.        Kecantikan dan Ketampanan.
5.        Harta Kekayaan.
Dalam Al-Qur’an kita temukan betapa harta telah menghantarkan Qorun menjadi seseorang yang sombong. “Maka, keluarlah Qorun kepada kaumnya dengan kemegahan. Maka berkatalah orang-orang yang menghendaki kemegahan dunia, ”Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.” (al-Qashshas (28) : 79)
6.        Kekuatan dan Keperkasaan.
Hal ini biasanya dimanfaatkan untuk menindas orang yang lemah.
7.        Pengikut, Pendukung, Murid, pembantu, keluarga, Kerabat,dan Anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar